Slide Title 1

Aenean quis facilisis massa. Cras justo odio, scelerisque nec dignissim quis, cursus a odio. Duis ut dui vel purus aliquet tristique.

Slide Title 2

Morbi quis tellus eu turpis lacinia pharetra non eget lectus. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Donec.

Slide Title 3

In ornare lacus sit amet est aliquet ac tincidunt tellus semper. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Selasa, 21 Juli 2015

coba-coba


A. PENDAHULUAN
            Meskipun para pakar berpendapat bahwa tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum Namun jika kita cermati di lingkungan sekitar kita, setidaknya terdapat lembaga pendidikan yang sedikit membedakan antara lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan agama (Islam). Perbedaan  ini dapat dipahami bahwa adanya perbedaan jenis lembaga tersebut didasarkan pada persoalan siapa yang mendirikan lembaga tersebut dan apa visi misinya.
            Sebagaimana terlihat dalam ayat yang pertama turun, Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengatahuan. Inipun disadari oleh umat Islam sendiri, yaitu dengan didirikannya lembaga pendidikan Islam dalam berbagai jenjang. Yang perlu dipertanyakan adalah, apakah lembaga pendidikan ini telah ada sejak pra Islam atau memang lembaga ini lahir bersamaan dengan lahirnya Islam?
            Kaum Quraisy yang merupakan kaum bangsawan di kalangan penduduk Mekah, ketika Islam datang mereka hanya memiliki 17 orang yang mahir dalam hal baca tulis. Sedangkan  suku Aus dan Khazraj sebagai penduduk Yasrib, hanya memiliki 11 orang yang pandai dalam bidang tersebut.[1] Hal ini menyebabkan bangsa Arab sedikit sekali mengenal ilmu pengetahuan. Hidup mereka menjadi tidak terarah dan hanya mementingkan hawa nafsu, perpecahan dalam masyarakat sulit terelakkan, wanita hampir tak ada artinya, serta hukum rimba menjadi aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan agama tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah mereka selewengkan. Adapun mengenai kepiawaian mereka di bidang syair yang telah kita kenal itu terpublikasi melalui bahasa lisan.
            Di tengah-tengah kemerosotan moral itu, Islam datang dengan membawa sejumlah ilmu untuk memperbaiki kehidupan manusia, bahkan mengangkat peradaban bangsa Arab menjadi lebih maju dari peradaban lain yang telah mengalami kemajuan pada masa-masa sebelumnya. Sebagai bukti adalah wahyu  yang pertama turun berbunyi  اقراء(bacalah). Perintah ini pada hakekatnya adalah pencanangan pemberantasan buta huruf, suatu tindakan awal untuk membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Selebihnya ayat ini merupakan perintah agar manusia memahami setiap fenomena alam, memahami sunnatullah yang menguasai segala peristiwa alam, serta mengambil kesimpulan tentang hakikat yang terletak di balik kenyataan yang bersifat empirik.[2]
            Dengan demikian dapat dimengerti bahwa Islam pada hakekatnya adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang diturunkan untuk memperbaiki seluruh aspek kehidupan manusia. Berkembang pesatnya Islam yang hanya dalam beberapa kurun waktu tersebut, tentu tidak terlepas dari usaha Muhammad sebagai penerima wahyu dalam menyebarkan keilmuan Islam. Bagaimanakah penyebaran keilmuan Islam ini sehingga pada beberapa abad yang lalu sempat menjadi ikon kemajuan peradaban dunia? Tentu saja hal ini terkait dengan lembaga pandidikan Islam sebagai wadah untuk menyebarkan keilmuan Islam tersebut. Dalam konteks inilah makalah ditulis dengan sasaran pembahasan sejarah terbentuknya institusi pendidikan islam dari masa awal Islam sampai Daulah Salajiqah. Dalam makalah ini juga akan dibahas mengenai munculnya dinasti-dinasti etnik Turki yang ikut berperan dalam melebarkan wilayah kekuasaan Islam serta pembakuan institusi-institusi, terutama institusi pendidikan.

B. LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM PRA MADRASAH
            Dalam sejarahnya, Pendidikan Islam berkembang sejalan dengan kemunculan Islam itu sendiri. Menurut Harun Nasution, dalam perkembangannya sejarah Islam dibagi dalam tiga periode, yaitu periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M) dan periode modern (1800 M sampai sekarang)[3].
            Di masa klasik, sejarah pendidikan Islam merupakan salah satu bidang kebudayaan Islam yang masih belum banyak diketahui sampai sekarang. Hal ini dikarenakan kurangnya sumber-sumber asli dan kurang lengkapnya penulisan bahan oleh para penulis, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Hampir semua penulis berupaya menggambarkan bahwa pendidikan Islam seolah-olah merupakan suatu sistem yang telah terorganisir dari tingkat dasar sampai universitas. Hal ini adalah gambaran terdistorsi yang memaksakan stratifikasi kasar dan nomenclature sistematik modern atas suatu aktifitas bebas dan informal, di mana negara tidak berperan langsung hingga munculnya madrasah.[4]
            Sebelum munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, sebenarnya telah terlebih dahulu berkembang lembaga pandidikan non formal. Bahkan lembaga-lembaga tersebut saat ini masih banyak kita jumpai. Di antara lembaga-laembaga pendidikan Islam non formal itu adalah:
            a. Kuttab
            Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Sebelum Islam datang, kuttab ini sudah dikenal meskipun terbatas dari golongan tertentu saja. Di antara penduduk Mekah yang mula-mula belajar baca tulis adalah Sufyan ibnu Umayyah ibnu Abdu Syam dan Abu Qais ibnu Abdi Manaf ibnu Zuhrah ibnu Kilat. Keduanya mempalajarinya di negeri Hirah.[5] Karena masih sedikitnya penduduk Mekah yang menguasai baca tulis, maka menurut Shalabi, yang menjadi pengajar dalam kuttab ini seringkali kaum zimmi.
            Kepandaian baca tulis dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam ternyata memegang peranan penting, yaitu sejak nama nabi Muhammad digunakan sebagai media komunikasi dakwah kepada dunia di luar Arab serta dalam menuliskan perjanjian-perjanjian. Karena kepentingan inilah maka kuttab sebagai tempat belajar menulis dan membaca semakin berkambang pesat.
            Di awal perkembangan Islam, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah-rumah guru yang bersangkutan. Materi yang diajarkan adalah menulis dan membaca syair  yang terkenal pada masanya. Sementara penulisan Al qur'an tidak diajarkan di sini, sebab kebanyakan pengajar adalah kaum zimmi maupun para tawanan perang Badar. Selain alasan tersebut ada juga yang beranggapan bahwa Al Qur'an tidak boleh dipermainkan oleh anak-anak dengan jalan menulis dan menghapusnya. Sehingga di masa itu Al Qur'an hanya disebarluaskan dengan cara membaca saja.[6]
            Perubahan terjadi di akhir abad pertama hijriyyah, di mana dalam kuttab ini telah diberikan juga materi Al Qur'an dan pokok-pokok ajaran agama. Pada mulanya kuttab jenis ini merupakan pemindahan dari pengajaran Al Qur'an yang berlangsung di masjid dan untuk semua kalangan. Namun dengan adanya kekhawatiran bahwa anak-anak tidak dapat menjaga kesucian masjid maka  bagi mereka dibuatkan tempat-tempat khusus di samping masjid yang juga berfungsi untuk belajar baca tulis, Al Qur'an serta pokok-pokok ajaran Islam.[7]
            Selain itu dikatakan oleh Ibnu Khaldun, bahwa tempat pembelajaran bagi murid perempuan di kuttab tersebut dipisahkan dari laki-laki.[8] Namun kepergian anak-anak perempuan ke kuttab itu sendiri sering tidak disukai oleh sebagian ulama karena dikhawatirkan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.[9]
            b. Halaqah
            Pendidikan masjid berlangsung dalam sistem halaqah (lingkaran). Hal ini dianggap unik oleh Nakosteen sebab hanya di temukan dalam pendidikan Islam saja, di mana seorang syaikh duduk di dekat dinding atau pilar masjid, sementara para murid duduk di depannya dengan membentuk setengah lingkaran.[10]
            Meskipun tidak ada batasan resmi, namun rata-rata dalam sebuah halaqah terdiri dari 20 murid di mana dalam halaqah tertentu masuknya murid ini melalui sebuah seleksi.[11] Mengikuti halaqah tidak mengandung suatu implikasi keterkaitan dengan halaqah tersebut atau dengan syaikhnya serta halaqah ini memberikan kebebasan akademis.[12]
            Kegiatan pembelajaran di halaqah dimulai dengan doa singkat yang dibaca oleh syaikh dilanjutkan dengan memberikan komentar umum tentang topic bahasan dengan mengaitkan topik tersebut pada materi yang telah diberikan sebelumnya. Dalam materi tertentu metode imla' juga digunakan. Kegiatan ini dilanjutkan dengan penjelasan pada materi yang telah didiktekan, di mana uraian materi ini didasarkan pada tingkat pemahaman para murid. Akhir dari kegiatan halaqah adalah pemeriksaan catatan yang dilakukan oleh syaikh sehingga dimungkinkan syaikh tersebut dapat memberikan perhatian secara individu. Selain itu juga diadakan sesi tanya jawab di mana dalam sesi tersebut tidak ada larangan bagi seorang murid untuk berbeda pendapat dengan syaikhnya.[13]
            Sebuah masjid dapat memiliki lebih dari satu halaqah. Sebuah halaqah biasanya diberi nama sesuai ilmu yang dikaji maupun syaikh yang mengajar dalam halaqah tersebut. Jika beberapa halaqah menempati satu masjid dalam waktu yang bersamaan maka mereka akan memilih lokasi yang terpisah, namun ada juga yang memilih waktu berbeda di tempat yang sama. Selain digunakan untuk pembelajaran, halaqah ini juga difungsikan untuk mengeluarkan fatwa (ifta') dan debat ( munazarah).[14]
            Jika seorang syaikh berhalangan, agar pembelajaran tidak terganggu maka dia mengangkat seorang naib untuk menggantikannya. Jika syaikh wafat maka naib ini akan ditugasi untuk mengajar sampai syaikh yang baru diangkat. Dalam mengajar seorang syaikh dibantu oleh seorang mu'id atau mufid. Muid merupakan murid senior yang bertugas untuk mengulas kembali materi yang telah diberikan oleh syaikh di luar pembelajaran beserta temen-temannya. Sedangkan mufid bertugas untuk membantu murid pemula dalam belajar. Secara hierarkis tingkatan pengetahuan mufid masih berada di bawah muid.[15]
            c. Pendidikan Rendah di Istana
            Adanya pendidikan rendah di istana didasari oleh kesadaran bahwa pendidikan harus diberikan pada anak sejak kecil agar mereka dapat melaksanakan tugasnya setelah dewasa nanti. Atas dasar kesadaran tersebut para khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana mendatangkan guru-guru khusus yang ditugasi untuk mengajar anak-anak mereka.
            Model pembelajaran di istana berbeda dengan model pembelajaran di kuttab.         Di istana, sebagai penentu materi yang disampaikan pada murid serta tujuan pembelajaran adalah orang tuanya sendiri. Guru yang mengajar di istana dinamakan mu'addib. Berasal dari kata adab yang artinya budi pekerti atau yang meriwayatkan. Dengan sebutan tersebut dimaksudkan bahwa mereka akan mendidik budi pekerti dan mewariskan kecerdasan serta pengetahuan orang-orang terdahulu pada anak-anaknya.[16]
            d. Warraq
            Kehidupan halaqah ditransmisi keluar dalam bentuk warraq dengan kegiatan menyalin pelajaran yang telah diajarkan dalam halaqah. Hal ini sangat menguntungkan bagi mereka yang tidak hadir dalam halaqah. Para pembesar dan hartawan sesekali memanggil para ilmuwan ke rumahnya untuk berdiskusi mengenai tema-tema aktual. Hasil diskusi tersebut kemudian ditulis oleh para warraq. Para warraq yang mendedikasikan kehidupannya untuk menulis mendorong para hartawan untuk memberikan hadiah sehingga penghasilan para warraq tersebut cukup terjamin.
            Warraq merupakan penulis independen yang menulis buku untuk mencari uang. Ada pula warraq yang menulis untuk seseorang yang memang tidak dapat menulis atau tidak hadir dalam pembelajaran. Perkembangan di dunia tulis menulis telah melahirkan profesi baru bagi para warraq yang berkaitan dengan pencatatan, pembacaan ulang dan penjilidan.[17]
            e. Toko-Toko Buku
            Pada permulaan Daulah Bani Abassiyah, di mana ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam telah berkembang pesat yang diikuti oleh penulisan kitab-kitab berbagai disiplin ilmu, maka berdirilah toko-toko kitab. Para pemilik toko tersebut umumnya bukan sekedar para pedagang, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdas yang memilih profesi tersebut agar dapat membaca dan menelaah kitab-kitab yang ditulis oleh para ilmuwan. Mereka juga menyalinnya dan menjualnya pada orang yang memerlukan. Dengan demikian toko-toko buku tersebut bukan saja sebagai tempat berjual beli buku, akan tetapi juga berfungsi sebagai tempat bertemunya para ilmuwan untuk berdiskusi, berdebat dan mengkaji masalah-masalah ilmiah.[18]
            f. Majlis
            Majlis ini bermula sejak zaman Khulafaur Rasyidun yang digunakan untuk memberikan fatwa, musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan masalah yang dihadapi pada masa itu. Awalnya pertemuan majlis ini diadakan di masjid, namun sejak khalifah Bani Umayyah tempat tersebut dipindahkan ke istana.
            Pada masa Khalifah Harun Al Rasyid (170-193 H), majlis ini mengalami kemajuan yang luar biasa karena Khalifah sendiri sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga ia juga ikut aktif di dalamnya. Selain itu keadaan negara yang kondusif mendukung diadakannya perlombaan antar ahli syair, perdebatan antar fuqaha, diskusi-diskusi ilmiah, serta sayembara di antara ahli kesenian dan pujangga. [19]
            g. Badiah
            Merupakan padang pasir di pedalaman yang ditinggali oleh orang-orang Badwi. Sejak berkembang luasnya Islam, bahasa Arab sering digunakan oleh bangsa luar Arab yang beragama Islam sehingga bahasa Arab berkembang luas. Hal ini mengakibatkan keaslian bahasa Arab semakin lama semakin luntur karena bercampur dengan kaidah bahasa lain. Ternyata kerusakan bahasa ini hanya terjadi di kota-kota, sementara bahasa Arab di pedalaman masih original. Dengan alasan inilah para khalifah mengirimkan anak-anaknya untuk belajar bahasa arab di dusun-dusun.
            Selain itu, di badiah-badiah ini juga terdapat ribat-ribat atau zawiyah-zawiyah yang menjadi pusat kegiatan para sufi. Di sanalah mereka mengembangkan metodenya untuk mencapai ma'rifat.
            h. Perpustakaan.
            Dengan didirikannya perpustakaan para pelajar akan merasa sangat terbantu karena mereka bisa mengurangi pengeluaran untuk pembelian buku. Terdapat tiga perpustakaan besar dalam sejarah Islam klasik, yaitu perpustakaan Abbasiyah di Baghdad, perpustakaan Fatimiyah di Kairo dan perpustakaan Umayyah di Cordoba.

C. MADRASAH SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI DI MASA     KLASIK
            Madrasah merupakan era baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.[20] Madrasah yang dimaksud oleh Ahmad Syalabi ini adalah madrasah yang dibangun oleh Nizam Al Mulk pada tahun 459 H. Sementara C.E. Bosworth menyatakan bahwa madrasah tertua tercatat di Iran bagian timur pada awal abad ke III H/X M. Akan tetapi madrasah-madrasah tersebut belum merupakan publik yang substansial.[21] Tidak kurang dari 38 madrasah terdapat di Nishapur yang terdokumentasikan sebelum masa Nizamul Mulk.
            Institusi pendidikan ketika itu perlu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat. Beberapa alasan yang  menjadikan penyelenggaraan pendidikan di masjid perlu dipertimbangkan kembali adalah; pertama, kegiatan pendidikan di masjid dianggap telah mengganggu fungsi utama lembaga itu sebagai tempat ibadah. Kedua, berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, timbulnya orientasi baru dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan proses pendidikan di luar masjid, ulama dapat mengajar sambil menyelesaikan pekerjaan di rumahnya ataupun menjaga dagangannya di toko. Kemapanan baru inilah yang disebut dengan madrasah. Bangunannya sangat sederhana dan seringkali rumah profesor itu sendiri yang difungsikan sebagai madrasah. Adapun pembelajaran yang dilaksanakan sifatnya independen dan pribadi.[22]
            Max van Berchem menyatakan bahwa pada abad V H/XI M, ditandai dengan berdirinya madrasah Nizamiyah, madrasah berubah peranannya dari institusi pribadi, independen dan personal menjadi insitusi negara dengan berbagai tendensi politik yang dibuat dan diarahkan oleh pemerintah. Evolusi ini berkaitan dengan fenomena yang bersifat umum ketika itu, yaitu dekadensi kekhalifahan, reaksi aliran sunni dan kelahiran dinasti Mongol. Mengenai hal ini akan lebih jelas jika kita tengok kembali sejarah berdirinya madrasah Nizamiyah yang tidak terlepas dari sejarah Daulah Bani Abbasiyah.
            Pada masa kekhalifahan Al Mu'tashim, orang-orang Turki diberi peluang besar untuk masuk dalam pemerintahan. Katerlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Sistem ketentaraan ketika itu mulai berubah, mereka cenderung dibina secara khusus untuk menjadi tentara profesiona daripada mengikuti perang, sehingga kekuatan militer Abbasiyyah menjadi cukup kuat.
            Kemajuan pesat yang dialami oleh Daulah Abbasiyah periode awal mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Kecenderungan ini ditambah dengan kelemahan khalifah dalam pemerintahan sehingga pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini dimanfaatkan oleh tentara Turki untuk mengambil kendali kekuasaan. Sejak khalifah Al Mutawakkil wafat, pemilihan dan pengangkatan khalifah dilakukan oleh orang-orang Turki. Dengan demikian, meskipun jabatan khalifah berada di tangan bani Abbasiyah akan tetapi kekuasaan tidak lagi ada di tangannya.[23]
            Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat dan mendirikan dinasti-dinasti kecil. Dinasti-dinasti Turki yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Bagdad di masa Abbasiyah antara lain; Thuluniyyah di Mesir (254/292 H), Ikhsyidiyyah di Turkistan (320/560), Ghasnawiyyah di Afganistan (351/585) dan dinasti Saljuk yang terdiri dari Saljuk Besar di Bagdad (429/522 H), Saljuk di Kirman (433/583 H), Saljuk di Syiria (487/511 H), Saljuk di Irak dan Kurdistan (511/590 H), serta Saljuk di Asia Kecil (470-700 H). Selain dinasti-dinasti dari bangsaTurki tersebut masih ada lagi beberapa dinasti dari bangsa lain.
            Pengaruh Turki dalam sejarah bani Abassiyah terbagi dalam dua periode. Di antara dua periode tersebut terdapat kekuasaan bani Buwaih. Sebagaimana ketertundukannya dengan tentara Turki, ketika Bani Buwaih berkuasa pun, kekhalifahan Abbasiyyah tidak berdaya sama sekali. Hal ini diperburuk dengan konflik yang kerap terjadi antara bani Abbas sebagai penganut sunni dan bani Buwaih yang termasuk orang-orang Syi'ah.
            Di sisi lain, dengan kekuatan militer bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Bagdad dapat dikendalikan kembali oleh Bagdad. Kekuatan politik Bani Buwaih melemah ketika terjadi perebutan kekuasaan antara keturunan Bani Buwaih sendiri. Dinasti ini semakin mundur sejak banyaknya dinasti-dinasti yang melepaskan diri. Dinasti-dinasti tersebut antara lain; Fatimiyyah di Mesir, Hamdan Di Aleppo, Ikhsyidiyyah di Syiria, Ghasnawi di Ghazna dan dinasti Saljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Buwaih.
            Dinasti Saljuk menggantikan Bani Buwaih pada masa kepemimpinan Thugrul Bek. Sebelumnya Tugrul telah menguasai Marwa, Naisabur, Balkh, Jurjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray dan Isfahan. Sepeninggal Tughrul Bek (455 H), dinasti Saljuk diperintah oleh Alp Arselan (455/465 H). Di masanya, perluasan wilayah dilanjutkan sampai ke Bizantium. Gerakan ekspansi inilah yang dikenal dengan nama Manzikart.
            Pemimpin Saljuk selanjutnya adalah Maliksyah (465-485 H). Pada saat Maliksyah berkuasa, kekuasaan Dinasti Saljuk sangat luas, membentang dari Kashgor, sebuah wilayah di ujung daerah Turki, sampai ke Yerussalem. Wilayah ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu Saljuk Besar, Saljuk Kirman, Saljuk Irak dan Kurdistan, Saljuk Syria dan Saljuk Rum.[24]
            Dalam kepemimpinannya, Maliksyah dibantu oleh seorang perdana menteri, yaitu Nizam al Mulk. Perdana menteri inilah yang memprakarsai beririnya madrasah Nizamiyah. Hampir di setiap kota di Irak, dan Khurasan didirikan cabang madrasah Nizamiyah. Menurut Philip K. Hitti, madrasah Nizamiyah inilah yang selanjutnya menjadi model lembaga pendidikan di kemudian hari.[25]
            Motifasi didirikannya madrasah Nizamiyah adalah latar belakang politik dan ketenagakerjaan yang tidak dapat dipisahkan dengan kehendak memperlancar tugas dan mempertahankan negara, baik untuk keuntungan Nizamul Mulk sendiri sebagai pendiri, maupun demi kesultanan Saljuk. Nizamiyah didirikan atas dasar tiga tujuan; pertama, menyebarkan pemikiran sunni untuk menghalangi tantangan pemikiran Syi'ah dari sisa-sisa Bani Buwaih. Kedua, menyediakan guru-guru yang cakap untuk menyebarkan ajaran sunni ke daerah lain. Ketiga, membentuk kelompok pekerja sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan dan memimpin kantor, khususnya di bidang peradilan dan manajemen.
            Demikian yang terjadi dengan madrasah Nizamiyah di masa Saljuk dan dinasti-dinasti sesudahnya yang kebetulan sunni. Gibb dan Bowen bahkan menyatakan bahwa pada abad XVI, di bawah kerajaan Usmani, kelulusan dari madrasah merupakan prasyarat untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan.
            Dari penjelasan di atas dapat dilihat multi motivasi yang mendasari kelahiran madrasah, yaitu selain motivasi agama dan ekonomi karena terkait dengan ketenagakerjaan, juga motifasi politik. Dengan berdirinya madrasah maka pendidikan Islam memasuki periode baru, yaitu pendidikan memiliki fungsi bagi negara, dan sekolah-sekolah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik.

D. KESIMPULAN
            Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan Islam sejak masa Rasulullah sampai saat ini nampak sangat variatif. Hal ini tidak lepas dari faktor perkembangan peradaban maupun kebutuhan manusia.
            Semangat untuk dapat membaca dan menulis merupakan kekuatan lembaga pendidikan Islam pra madrasah untuk berkembang lebih pesat. Selain itu aktifitas menulis beserta hasil tulisannya juga menjadi sumbangan tersendiri bagi kemajuan lembaga pendidikan era ini.
            Di awal perkembangannya, meskipun telah banyak lembaga pendidikan yang berbeda-beda, namun lembaga pendidikan Islam ini belum menampakkan diri sebagai sebuah sistem yang terorganisir dengan rapi. Lembaga pendidikan Islam baru benar-benar nampak ketika lahirnya Madrasah Nizamiyyah yang dipelopori oleh Nizamul Mulk.
            Lahirnya lembaga madrasah secara resmi tidak semata-mata didorong oleh kebutuhan ilmu pengetahuan di masa itu, namun juga dicampuri oleh kepentingan politik para penguasa. Maka tidak mengherankan jika sampai saat ini pendidikan juga seringkali dipolitisir, sebab sejak awal perkembangannya hal intupun memang telah banyak dilakukan oleh para penguasa.
           

E. BIBLIOGRAFI
*Ahmad Amin, Fajr Al Islam, Kairo : Maktabah Al Nahdah, 1965
*Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam KlasikJakarta : Prenada Media, 2003
*Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai AspeknyaJakarta : Bulan Bintang, 1974
*AL. Tibawi, Arabic and Islam Themes, London Luzac & Company Ltd, 1974
*Zuhairini. dkk, Sejarah Pendidikan IslamJakarta : Bumi Aksara, 1997
*A. Shalabi, Sejarah Pendidikaan Islam, terj. Muhtar Yahya, Jakarta : Bulan          Bintang, 1973
*Asma Hasan Fahmi, Sejarah Pendidikan IslamJakarta : Bulan Bintang, 1990
*Mehdi  Nakosteen, History of  Islamic Origin of Western Education, A.D. 800-     1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education, Boulder: The    University of Colorado Press, 1964. *George Maksidi, The Rise of             CollegesEdinburgh University Press, 1981
*Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam IslamJakarta : Logos            Publishing House, 1994
*Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo, 1322/1904
*Ahmad Syalabi, al Tarbiyah al Islamiyah, Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuha,     Kairo : Maktabah al Nahdah al Mishriyah, 1987
*C.E. Bosworth. The Encyclopaedia of IslamLeiden : E.J.Brill, 1986
*Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh al-Dawlah al-IslamiyahBeirut: al-Maktab      al-Tijari, TT
*Muhammad al Khudari Bek, Mukhadarat al Tarih al Umam al Islamiyah al          Daulah al Abbasiyah, Kairo: Istiqamah,1953
*Philiph K. hitti, History of ArabsLondon: Macmillan, 1970



[1] Ahmad Amin, Fajr Al Islam, Kairo : Maktabah Al Nahdah, 1965, hlm. 141
[2] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam KlasikJakarta : Prenada Media, 2003, hlm. 14
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai AspeknyaJakarta : Bulan Bintang, 1974, hlm. 56
[4] AL. Tibawi, Arabic and Islam Themes, London Luzac & Company Ltd, 1974, hlm. 212-213
[5] Zuhairini. dkk, Sejarah Pendidikan IslamJakarta : Bumi Aksara, 1997, hlm. 89
[6] A. Shalabi, Sejarah Pendidikaan Islam, terj. Muhtar Yahya, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, hlm. 45
[7] Ibid., hlm. 50
[8] Ibid., hlm. 43
[9] Asma Hasan Fahmi, Sejarah Pendidikan IslamJakarta : Bulan Bintang, 1990, hlm. 32
[10]Mehdi  Nakosteen, History of  Islamic Origin of Western Education, A.D. 800-1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education, Boulder: The University of Colorado Press, 1964. hlm. 45
[11] George Maksidi, The Rise of Colleges, Edinburgh University Press, 1981, hlm. 184
[12] Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam IslamJakarta : Logos Publishing House, 1994, hlm. 31
[13] Nakosteen, ibid., hlm. 46
[14] George Maksidi, Ibid., hlm. 13
[15] Ibid., hlm. 195
[16] Ibid., hlm. 60-61
[17] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo, 1322/1904. hlm. 334
[18] Zuhairini, ibid., hlm. 79
[19] Ibid., hlm. 76-77
[20] Ahmad Syalabi, al Tarbiyah al Islamiyah, Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuha, Kairo : Maktabah al Nahdah al Mishriyah, 1987, hlm. 43
[21] C.E. Bosworth. The Encyclopaedia of IslamLeiden : E.J.Brill, 1986, hlm. 1136
[22] Ahmad Syalabi, op.cit.,hlm. 144
[23] Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh al-Dawlah al-IslamiyahBeirut: al-Maktab al-Tijari, TT, hlm. 362
[24] Muhammad al Khudari Bek, Mukhadarat al Tarih al Umam al Islamiyah al Daulah al Abbasiyah, Kairo: Istiqamah,1953, hlm. 418-421
[25] Philiph K. hitti, History of ArabsLondon: Macmillan, 1970, hlm 410